1.
Difteri
Penyakit difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Corynobacterium diphteriae. Ada 3 jenis utama Corynobacterium diphteriae, yaitu gravis,
intermedius, dan mitis. Strain gravis menyebabkan suatu penyakit lebih berat
daripada strain mitis. Anggapan ini tidak tepat karena baik strain gravis,
intermedius, dan mitis dapat juga lebih toksik karena strain-strain ini
mengandung faga toksigenik. Ada
kalanya pula ketiga strain ini tidak bersifat toksik karena tidak mengandung
faga toksigenik
Adapun gejala dari penyakit
difteri antara lain demam, sakit tenggorokan, serta pembengkakan amandel
(tonsil). Terlihat eksudat dari tonsil, faring atau hidung berupa selaput putih
kotor yang makin lama makin membesar dan menutup jalan napas. Racun difteri
juga dapat merusak miokardium sehingga menyebabkan gagal jantung.
Pada umumnya Corynobacterium diphteriae dapat menular
melalui udara (batuk/bersin). Selain itu bisa juga melalui benda atau makanan
yang terkontaminasi bakteri tersebut.
Pencegahan paling efektif
adalah dengan imunisasi bersamaan dengan pertusis dan tetanus, sebanyak tiga
kali sejak berusia dua bulan dengan selang waktu penyuntikan 1-2 bulan.
Pemberian imunisasi akan memberikan kekebalan aktif terhadap basil difteri,
pertusis, dan tetanus.
2.
Pertusis (Batuk Rejan)
Pertusis bersal dari kata “per”
artinya sangat besar dan “tussis” artinya batuk. Pertusis adalah infeksi
bakteri oleh saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap
serta bunyi pernapasan melengking.
Batuk rejan disebabkan oleh
infeksi bakteri anatara lain: Haemophillus
pertussis, Bordetella pertussis. Selain itu ada spesies lain Bordettella parapertussis. Spesies ini
mungkin spesies terpisah atau mungkin suatu strain nontoksigenik dari B.pertussis.
Mulainya penyakit, biasanya
muncul sebagai pilek tanpa demam yang berlanjut dengan suatu peningkatan batuk
yang hebat. Biasanya batuk dimulai pada malam hari, kemudian pada siang hari
dengan frekuensi 20x atau lebih dalam 24 jam. Adanya lendir pada saluran pernapasan
membuat dorongan untuk mengeluarkan lendir tersebut hingga diikuti dengan
”rejan” yang khas dari penyakit ini dan disertai muntah.
Komplikasi dari batuk rejan
ini dapat menyebabkan pneumonia, kejang, dan kerusakan otak bila pertusis berat
yang menyerang.
Vaksinasi pertusis berupa
bakteri yang nonaktif juga dari sel bakteri utuh. Pemberian vaksin ini
disatukan dengan vaksin difteri dan tetanus. Komponen pertusis ini yang dapat
memberi efek samping berupa panas pada daerah suntikan dan demam.
3.
Tetanus
Tetanus adalah infeksi bakteri yang menyebabkan kekakuan pada rahang
serta kejang. Hal ini diakibatkan oleh kerja toksin yang dhasilkan oleh bakteri
tetanus (Clostridium tetani) pada
susunan saraf. Bila luka dikontaminasi spora Cl.tetani maka mereka berkembang biak dalam suatu lingkungan
anaerob dan bentuk vegetatif basil ini menghasilkan susunan saraf dengan
menaiki akson saraf. Perkembangan spora terutama terjadi dalam jaringan
nekrotik mati yang dibantu oleh garam kalsium dan infeksi piogenik.
Masa inkubasi mungkin berkisar antara 1-5 hari sampai lebih dari 1 bulan
sesudah infeksi melalui suatu luka yang biasanya sepele, seperti karena duri,
kuku, atau serpihan kayu. Bakteri tetanus memproduksi toksin pada luka dan akan
meyebar ke sumsum tulang belakang dan otak, yang menyebabkan rangsangan hebat
pada sel saraf dan menimbulkan kontraksi yang hebat (spasme) otot.
Penyakit biasanya dimulai berangsur-angsur dengan kekakuan pada rahang
dan otot leher yang tidak nyeri, kemudian menjalar ke punggung. Selajutnya, spasme
dari otot rahang (trismus atau 'lockjaw')
menjadi demikian berat sehingga mulut tidak bisa dibuka. Alis dan kening
menyusut ke atas dan mulut tertarik ke luar membentuk suatu senyum (risus
sardonicus). Kemudian, kejang tetani mulai. Kepala tertekuk ke belakang,
punggung membentuk busur dan tungkai menjadi sangat kaku. Bentuk kejang ini
biasanya mudah dikenal, walaupun pada bayi yang baru lahir lebih menyerupai kejang
biasa dan pada anak kecil penarikan leher ke belakang (retraksi) yang biasa
diduga meningitis oleh mereka yang belum berpengalaman. Kejang berulang yang
nyeri akan melelahkan anak, membuatnya tidak makan dan minum, dan dapat
menyebabkan kematian lewat gagl nafas.
Pada bayi tetanus terjadi bila bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui
tali pusar bayi baru lahir, atau luka, lecet, dan tukak pada anak yang lebih
besar. Jarak antara infeksi dan
permulaan sakit (masa inkubasi) bervariasi antara 5 dan 14 hari, atau lebih
lama dari itu, pada kasus yang ringan. Makin pendek masa inkubasi makin
serius penyakit itu.
Metode pencegahan terbaik adalah dengan imunisasi. Jika terkena tetanus, pengobatan harus dimulai
sesegera mungkin dengan pemberian antitoksin, obat-obatan sedatif, dan
penisilin.
4.
Imunisasi DPT
Imunisasi adalah suatu usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak terhadap
penyakit tertentu. Imunisasi DPT bertujuan untuk memberi kekebalan aktif
terhadap difteri, pertusis, dan tetanus.
Vaksin diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari lima kali suntik, yaitu pada usia dua bulan,
empat bulan, enam bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum sekolah (4-6
tahun). Dianjurkan untuk mendapat vaksin TD (penguat TD) pada usia 10-12 tahun
atau paling lambat 5 tahun setelah imunisasi DPT terakhir. Direkomendasikan
vaksin TD setiap 10 tahun.
Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam imunisasi DPT:
a. Pemberian tiga kali
dengan dosis 0,5cc interval empat minggu
b. Vaksin yang digunakan
jangan sampai beku
c. Sisa vaksin yang
sudah dibuka harus dibuang
d. Penundaan pemberian
vaksin jika didapatkan anak sakit panas (demam) dan mempunyai kelainan saraf
atau tidak tumbuh secara normal. Hanya diberikan vaksin DT.
Jadwal pemberian:
a. Vaksinasi dasar
Pada bayi usia 2-11 bulan (3
kali suntikan) dengan nterval 4 minggu secara IM atau SC
b. Vaksinasi ulang DT
1. usia 4-6 tahun
- DPT (+) diberikan vaksinasi DT 1x 0,5cc
- DPT (-,±) diberikan vaksinasi DT 2x 0,5cc
interval 4 minggu
2. usia 10-12 tahun
- DPT (+) diberikan vaksinasi DT 1x 0,5cc
- DPT (-,±) diberikan vaksinasi DT 2x
0,5cc interval 4 minggu
Ket:
+ : lengkap
- : tidak pernah
± : tidak lengkap
Dosis
Dosis setiap 0,5cc (1
dosis) vaksin ini terdiri dari >30 IU toksoid difteri, .40 IU toksoid
tetanus dan 25µg toksoid pertusis, 25µg Filamentous haemagglutin (FHA), dan 8µg
Pertactin (PRN).
Tempat penyuntikan
Vaksin DPT diberikan
secara IM atau SC pada paha sebelah luar (vastus lateral), lengan atas
(musculus deltoideus), dan pada bokong (gluteus maximus).
Pemberian DPT paling
baik dilakukan dengan suntikan pada paha sebelah luar.
Efek Samping
a. Suhu tubuh meningkat
(panas) karena pengaruh bakteri pertusis
b. Reaksi di tempat
penyuntikan: nyeri, kemerahan, dan bengkak
c. Radang
Komplikasi
a. Demam tinggi 40,5 %
b. Kejang-kejang dalam
3-7 hari pasca imunisasi
c. Kejang demam (jika
pernah mengalami kekjang sebelumnya)
d. Syok (kebiruan,
pucat, lemah, dan tidak memberi respon)
e. Reaksi alergi
f. Kesulitan makan atau
gangguan mulut atau tenggorokan
g. Pingsan dalam 2 hari
pertama imunisai
Bila didapatkan
komplikasi-komplikasi tersebut konsultasikan ke dokter anak sebelum mendapatkan
vaksin lainnya. Angka kejadian komplikasi tersebut kurang dari 1% penyuntikan
DPT.
Untuk mengatasi nyeri dan
menurunkan demam bisa diberikan acetaminofen atau ibuprofen (antipiretik).
Sedang untuk mengurangi nyeri di tempat penyuntikan bisa dilakukan kompres air
hangat atau lebih sering mengerak-gerakkan lengan maupun tungkai.
No comments:
Post a Comment